A.
Pengertian
Kurikulum
Kurikulum
dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang dari satu
abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812
dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamusnya tahun 1856.
Jadi
dengan “kurikulum” dimaksud jarak yang harus di tempuh oleh pelari atau kereta
dalam perlombaan, dari awal sampai akhir. “kurikulum” juga berarti “chariot”
semacam kereta pacu pada zaman dahulu, yakni suatu alat yang membawa seseorang
dari “start” sampai “finish”.
Disampaing
penggunaan “kurikulum” semula dalam bidang olah raga, kemudian dipakai
dalam bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah di perguruan tinggi.
Di
Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi popular sejak tahun
lima puluhan yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di
America serikat. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah “rencana pelajaran” pada
hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran.
Dalam
teori praktik, pengertian kurikulum yang lama sudah banyak ditinggalkan. Para
ahli-ahli pendidikan kebanyakan memberi arti atau istilah yang lebih luas.
Perubahan
ini terjadi karena ketidakpuasan dengan hasil pendidikan di sekolah dan ingin
selalu memperbaiki.
Selain
itu yang mempengaruhi perubahan dari makna atau arti kurikulum adalah
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat mengubah perkembangan
dan kebutuhan masyarakat.
Disamping
itu banyak timbul pendapat-pendapat baru, tentang hakikat dan perkembangan
anak, cara belajar, tentang masyarakat dan ilmu pengetahuan yang memaksa
diadakannya perubahan dalam kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah proses
yang tak hentinya, yang harus dilakukan secara kontinu.
Namun,
mengubah kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah, praktek pendidikan disekolah
senantiasa jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan teori kurikulum. Bukan
suatu yang aneh. Bila suatu teori kurikulum baru menjadi kenyataan setelah 50
sampai 75 tahun kemudian.
Dengan
bertambahnya tanggung jawab sekolah timbulah berbagai macam definisi kurikulum,
sehingga semakin sukar memastikan apakah sebenarnya kurikulum itu.
Akhirnya setiap pendidikan, setiap guru harus menentukan sendiri apakah
kurikulum itu bagi dirinya. Pengertian yang dianut oleh seseorang akan
mempengaruhi kegiatan belajar mengajar dalam kelas maupun diluar kelas.
Dibawah
ini beberapa kurikulum menurut beberapa kurikulum menurut beberapa ahli
kurikulum.
1.
J. Galen Taylor dan William M. Alexander dalam buku
curriculum planning for better teaching and learning (1956). Menjelaskan arti
kurikulum sebagai berikut “segala usaha untuk mempengaruhi anak belajar, apakah
dalam ruang kelas, di halaman sekolah atau diluar sekolah termasuk kurikulum.
Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan extra kurikuler.
2.
Harold B. Albertycs. Dalam reorganizing the high school
curriculum (1965). Memandang kurikulum sebagai “all school”. Seperti halnya
dengan definisi saylor dan Alexander, kurikulum tidak terbatas pada mata
pelajaran akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan diluar
kelas, yang berada dibawah tanggung jawab sekolah.
3.
B. Othanel Smith, w.o. Stanley, dan J. Harjan Shores.
Memandang kurikulum sebagai “a sequence of potential experience set up in the
school for the purpose of diseliping ehildren and youth in group ways of
thinking and acthing”. Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman
yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka
dapat berfikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4.
William B Ragan, dalam buku modern elementary
curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut:
·
Ragan menggunakan kurikulum dalam arti luas,
yang meliputi seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala
pengalaman anak dibawah tanggung jawab sekolah.
·
Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran
tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan social antara guru
dan murid, metode pembelajaran, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.
5.
J. Lloyd Trump dan Dalmes F. Miller dalam bukunya
secondary school improfement (1973). Juga menganut definisi kurikulum yang
luas, menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar,
cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar,
bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasi dan hal-hal structural
mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
6.
Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai
kurikulum. Dalam bukunya changing the curriculum : a social process (1946) ia
mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah,
keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang melayani dan dilayani
sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik, dan personalia. Definisi
Miel tentang kurikulum sangat luas yang mencakup yang meliputi bukan
hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap, aspirasi, cita-cita
serta norma-norma melainkan juga pribadi guru, kepala sekolah serta seluruh
pegawai sekolah.
7.
Edward A, Krug dalam secondary school curriculum (1960)
menunjukan pendirian yang terbatas tapi realities tentang kurikulum, kurikulum
dilihatnya sebagai cita-cita dan usaha untuk mencapai tujuan persekolahan. Ia
membedakan tugas sekolah mengenai perkembangan anak dan tanggung jawab lembaga
pendidikan lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama, masyarakat, dan
lain-lainnya. Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi
lain, sehingga kita peroleh penggolongan sebagai bertikut:
a.
Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai
hasil karya para pengembangan kurikulum, biasanya dalam suatu panitia.
b.
Kurikulum yang pula dipandang sebagai program, yakni
alat yang dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya.
c.
Kurikulum dapat pula dipamdang sebagai hal-hal yang
diharapkan akan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan
tertentu.
d.
Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di
atas berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai
apa yang secara actual menjadi kenyataan pada setial siswa.
B.
Sejarah
Perkembangan Kurikulum
1.
Rencana
Pelajaran 1947
Kurikulum
pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam
bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum
(bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari
orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan
ditetapkan Pancasila.
Rencana
Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan
menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya
memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus
garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan
pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari,
perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2.
Rencana
Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap
mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus
mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,”
kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995.
Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung
Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno,
muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata
pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar
lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
3.
Kurikulum
1968
Kelahiran
Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang
dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia
Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan
khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak
menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran
pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak
mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi
apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
4.
Kurikulum
1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan,
agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah
pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang
terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD
Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan
pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman
ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan
bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin
sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
5.
Kurikulum
1984
Kurikulum
1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses,
tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum
1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh
penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP
Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA
yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan,
mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional.
Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah
suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada
tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah.
Penolakan CBSA bermunculan.
6.
Kurikulum 1994
dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum
1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya.
“Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984,
antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang,
perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban
belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi
muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa
daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam
kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.
Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
7.
Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah
yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan
alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional
masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai,
evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu
mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski
baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota
besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan.
Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat
kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
8.
KTSP 2006
Awal
2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian
target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak
perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru
lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan
lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan
karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan
kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan
telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan
perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan
kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah
Kabupaten/Kota. (TIAR).
C.
Konsep
Kurikulum
Konsep
kurikulum yakni: kurikulum Humanistik, kurikulum rekontruksi sosial kurikulum
teknologi, dan kurikulum subyek akademis.Tetapi pada pembahasan ini lebih
ditonjolkan pada pembahasan kurikulum humanistik dan rekontruksi sosial.
1.
Kurikulum Humanistik
Kurikulum Humanistik dikembangkan oleh
para ahli pendidikan humanistic. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran
pendidikan pribadi. Dalam pandangan humanisme, kurikulum sebagai sesuatu yang
dapat menunjang perkembangan anak dalam aspek memenuhi kebutuhan individu untuk
mencapai integrafi perkembangan dalam menuju aktualisasi diri.
Kurikulum
Humanistik menitik beratkan pada pendidikan yang integrative antara aspek
afektif (emosi, sikap, dan nilai) dengan aspek kognitif (pengetahuan dan
kecakapan intelektual) atau menambah aspek emosional ke dalam kurikulum yang
berorientasi pada subyek metter (mata pelajaran). Pendidikan humanistic
menekankan peranan siswa. Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif
dan mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendir atau
bagaimana merasakan atua bersikap terhadap sesuatu.
Aliran yang termasuk dalam pendidikan
humanistic yaitu pendidikan konfluen, kritikisme radikal dan mistikisme modern.
a.
Pendidikan
konfluen
Pendidikan yang memandang anak sebagai
satu keseluruhan diri. Pendidikan konfluen kurang menekankan pengetahuan
yang mengandung segi efektif. Menurut mereka kurikulum tidak menyiapkan
pendidikan tentang sikap perasaan dan nilai yang harus dimiliki murid.
Ciri-ciri
kurikulum konkluen:
·
Partisipasi : partisipasi dalam belajar
·
Integrasi : interaksi dari pemikiran perasaan
dan juga tindakan
·
Relavansi
: keterkaitan
·
pribadi
anak (self) : memberi tempat utama pada anak
·
Tujuan
: mengembangkan pribadi yang utuh yang serasi baik di dalam dirinya maupun
dengan lingkungannya.
Kurikulum
konfluen menyatukan pengetahuan abyektif dan subyektif berhubungan dengan
kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu maupun masyarakat.
Metode-metode
belajar konfluen Dalam kurikulum konfluen telah disusun kurikulum untuk
berbagai bidang pengajaran mencakup tujuan, topic yang akan dipelajari,
alat-alat pelajaran dan buku teks yang tersusun dalam bentuk rencana-rencana
pelajaran. Unit-unit pelajaran yang telah dujicobakan kebanyakkan bahan ini dengan
teknik afektif.
Teknik
kofluen di antaranya: dyads yang merupakan latihan komunikasi afektif antara 2
orang, fantasi body trips merupakan pemahaman tentang badan dan diri individu,
ritual, suatu kegiatan untuk menciptakan kebiasaan, kegiatan/ritual baru.
b.
Pendidikan kritikisme radikal
Pendidikan
sebagai upaya untuk membantu anak mengembangkan sendiri potensi yang dimiliki.
Bersumber dari aliran naturalisme/ romantisme rousseau.
Dalam
pendidikan ini tidak ada pemaksaan yang ada adalah dorongan dan rangsangan
untuk berkembang.
c.
Mistikisme modern
Aliran
yang menekankan pada latihan dan pengembangan kepekaan perasaan, kehalusan budi
pekerti melalui sensitivity training, yoga, dan meditasi.
2.
Karakteristik
Kurikulum Humanistik
a.
Tujuan
Fungsi
kurikulum memberikan pengalaman kepada setiap siswa untuk menunjang secara
intrinsik tercapainya perkembangan dan kemerolekaan pribadi.
Tujuan
pendidikan sebagai proses dinamika pribadi yang berhubungan dengan integrasi
dan otonomi pribadi yang ideal. Aktualisasi diri merupakan inti kurikulum
humanistik, artinya perwujudan diri yang ideal sebagai suatu kebutuhan.
b.
Metode
Kurikulum
humanistic menuntut hubungan emosiaonal antara guru dengan anak didik melalui
suasana belajar yang menyenangkan. Materi pelajaran hendaknya merangsang anak
belajar sedangkan guru mendorong para siswa untuk saling mempercayai dalam
proses.
c.
Organisasi
Salah
satu kekuatan besar kurikulum humanistik adalah terletak dalam integrasi, yang
artinya pencapaian kesatuan tingkah laku anak didik baik emosi pikiran dan
tindakan. Organisasi bertujuan untuk mengatasi kelemahan kurikulum tradisional
yang berorientasi pada materi yang gagal dalam menghubungankan psikologi anak.
d.
Evaluasi
Kurikulum konvensional bertujuan sebagai
kriteria hasil belajar. Kurikulum humanistik lebih mengutamakan proses
dari pada hasil artinya apakah aktifitas belajar yang dapat membantu anak didik
menjadi manusia yang lebih terbuka dan mandiri.
3.
Kurikulum
Rekontruksi Sosial
Kurikulum
rekontruksi sosial lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang
dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan
interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri melainkan,
kegiatan bersama, interaksi, kerjasama, kerjasama. Kerjasama atau interaksi
bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru tetap juga antara siswa dengan
siswa, siswa dengan orang dilingkungannya dan dengan sumber belajar lainnya.
Melalui kerjasama dan interaksi ini siswa berusa memecahkan problema-problema
yang dihadapinya dalam masyarakat menuju masyarakat yang lebih baik.
Para ahli rekontruksi sosial memandang kurikulum harus mampu menolong membantu siswa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakatnya dengan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan perubahan sosial. Kurikulum ini lebih menekankan kepentingan individu dalam perubahan sosial.
Para ahli rekontruksi sosial memandang kurikulum harus mampu menolong membantu siswa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakatnya dengan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan perubahan sosial. Kurikulum ini lebih menekankan kepentingan individu dalam perubahan sosial.
Mereka
ingin menyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat memuat warganya seperti yang
ada sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya
melalui kosensus sosial. Perubahan sosial tersebut harus dicapai melalui
prosedur demokrasi.
Para rekontruksianis sosial menentan intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak dan kerja sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.
Para rekontruksianis sosial menentan intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak dan kerja sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.
a.
Desain
kurikulum rekontruksi sosial
Ada beberapa ciri desain kurikulum:
Ada beberapa ciri desain kurikulum:
1.
Asumsi
Tujuan utama kurikulum rekontruksi sosial
adalah menhadapkan para siswa pada tantangan, ancaman hambatan-hambatan atau
gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan, ancaman-ancaman
tersebut yang perlu didekati dalam bidang ekonomi, sosiologi psikologi dan
lain-lain.
2.
Masalah-masalah
sosial yang mendesak
Merupakan
pemusatan kegiatan belajar yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Misalnya,
dapatkah kehidupan seperti sekarang ini memberikan kekuatan untuk menghadapi
ancaman-ancaman yang akan mengganggu integritas kemanusiaan?
Pertanyaan
tersebut mengundang pengungkapan lebih mendalam bukan saja dibuku-buku
melainkan yang dari kehidupan nyata dalam masyarakat.
3.
Pola-pola
organisasi
Pada
tingkat sekolah menengah pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda.
Ditengahnya merupakan masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno.
Dari tema dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi.
b.
Karakteristik Kurikulum Rekontruksi Sosial
1.
Tujuan
Tujuan
utama kurikulum ini adalah untuk menghadapkan anak didik dengan
tantangan-tantangan hidup yang dihadapi manusia.
Isi
kurikulum diharapkan memberikan bekal kepada anak didik agar mampu menghadapi
tantangan kemanusiaan.
2.
Metode
Guru
dapat membantu anak didiknya untuk menemukan minatnya dan para membuat
kurikulum menghubungkan tujuan nasional/tujuan dunia dengan tujuan anak didik.
Dengan begitu, anak didik dapat menggunakan minatnya untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Dengan begitu, anak didik dapat menggunakan minatnya untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
3.
Evaluasi
Ditujukan
kepada penilaiana terhadap kecakapan anak-anak didik dalam menghadapi
tujuan-tujuan kualitatif kurikulum rekontruksi sosial. Bentuk evaluasi yang
lebih ketat yakni ujian komprehansip yang diadakan akhirnya tahun ajaran yang
bertujuan untuk mensistensakan dan melihat keseluruhan pengetahuan, ketrampilan
dan sikap selama masih belajar.
4.
Pelaksanaan pengajaran rekontruksi sosial
Dilaksanakan
di daerah-daerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum
tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahakan untuk meningkatkan kondisi
kehidupan mereka. Sesuai dengan pontensi yang ada dalam masyarakat, sekolah
mempelajari potensi-potensi tersebut dengan bantuan biaya dari pemerintah
sekolah berusaha mengembangkan potensi tersebut.
Para ahli kurikulum menyarankan agar isi kurikulum difokuskan pada penggalian-penggalian sumber-sumber alam dan bukan alam, populasi kesejahteraan masyarakat dan lain-lain.
Para ahli kurikulum menyarankan agar isi kurikulum difokuskan pada penggalian-penggalian sumber-sumber alam dan bukan alam, populasi kesejahteraan masyarakat dan lain-lain.
4.
Kurikulum
Tradisional Atau Progresif
Menjalankan
kurikulum tradisional atau progresif akan banyak mendapat tantangan, antara
lain dari pihak guru yang dikenal karena sikap koservatifnya, juga orang tua
yang mengecap pendidikan tradisional dan merasakan manfaatnya.
Menganut
kurikulum tradisional berpegang pada kurikulum yang di dasarkan atas subyek
atau mata pelajaran yang biasanya diberikan secara terpisah-pisah. Bahan mata
pelajaran di ambil dari berbagai disiplin ilmu yang dibina dan senantiasa
dikembangkan para ilmuwan dank arena itu mendapat penghargaan tinggi dari
masyarakat.
Penganut
kurikulum progresif atau modern tidak menolak ilmu, akan tetapi tidak
dipelajari demi ilmu itu sendiri, akan tetapi untuk dipergunakan dalam
memecahkan suatu masalah. Sambil memecahkan masalah siswa mengumpulkan ilmu
yang diperlukan.
Kurikulum
tradisional menyamaratakan semua siswa baik mengenai bahan, metode
belajar-mengajar, maupun evaluasi. Kurikulum progresif memperhatikan bahkan
membantu perkembangan keunikan individu. Kurikulum tradisional menerima
kenyataan dalam masyarakat sebagaimana adanya, sedangkan kurikulum progresif
berusaha untuk mengubah lingkungan untuk membentuk dunia yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Syarief. A. Hamid. Pengembangan Kurikulum, Pasuruan: Bauna Indah, 1993 .
Sukmadinata, Nana Syaadih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1997.
No comments:
Post a Comment